Seminggu setelah kepergian ayah untuk selamanya, aku hanya bersama ibu dan ketiga adik-adikku yang masih kecil. Kini aku yang menjadi tulang punggung keluarga. Ibuku kini sakit-sakitan, dulu ketika ayah masih ada, ayah dan ibuku selalu bersama untuk menghidupiku dan ketiga adikku. Ibu mengais rezeki dengan menjadi pemulung sampah, ya maklum saja aku dan keluargaku tinggal di kota Jakarta. Ayahku menjadi buruh angkut di pasar. Penghasilan kedua orang tuaku memang sangat minim, tapi ayah selalu mengajarkan aku agar aku tetap sabar dan tawakal menjalani hidup ini. “Bukankah manusia di turunkan ke bumi agar dapat bertawakal?”
Kata-kata ayah masih terngiang ditelingaku. Ayah ya… ayahlah yang membuatku menjadi lebih perkasa. Kini aku menjadi pengumpul sampah, ya…memang itu tak bisa mencukupi kebutuhanku dan keluarga yang semakin hari semakin berat untuk kupikul sendiri. Aku masih bersekolah di salah satu SMA di Jakarta, Alhamdulilah Allah masih memberikan rezekinya padaku, aku mendapat beasiswa di sana.

Suatu ketika di sekolah, ketika aku sedang asik membaca buku, tiba tiba temanku memanggilku.
“Stop….Hai, Nara?” sapa Syifa padaku.
“Hai juga… Ada apa? Sepertinya penting ya?”,
“Kamu tahu saja, aku jadi malu…” sahut Syifa terbata-bata. 
“Malu? Malu kenapa?” kataku sambil mengerinyitkan dahi. 
“Nanti pulang sekolah ku tunggu kamu di gerbang ya…Daaa….” Syifa berlari masuk ke dalam kelasnya karena bel sudah berbunyi.

Kelas hari ini adalah Fisika, ibu Nina meminta agar siswa mengerjakan soal di depan kelas, tapi tidak ada yang mau, akhirnya ku coba beranikan diri untuk mengerjakan soal itu.
“Bu, apa saya boleh mengerjakan soal itu?”. 
“ Ya Nara, kamu boleh mengerjakannya.”
Bu Nina memperbolehkanku untuk mengerjakan soal Fisika itu. Bel istirahat pun berbunyi, aku sudah terbiasa untuk datang ke kantin, bukan untuk jajan, tetapi aku punya pekerjaan sambilan membantu ibu kantin. Pada awalnya sih, aku juga merasa malu sama teman-teman. Tapi lama kelamaan aku menjadi terbiasa. Toh pekerjaan itu halal, iya kan? 
“Nar, ni berapa harganya?” kata Bino dengan nada yang keras.
”Itu 2.500 No!”.
ya begitulah pekerjaanku. Aku harus bekerja ekstra hati-hati karena jika tidak gajiku akan dipotong.

Teeet…Teeet….Teeet…. Akhirnya bel masuk berbunyi juga. Menurut teman-temanku ini adalah pelajaran yang amat membosankan. Ya… apalagi kalau bukan Matematika, tapi aku suka kok dengan pelajaran itu, soalnya dari dulu aku sudah hobi berhitung. Pelajaran usai dengan keriuhan kelas, soalnya ketika pelajaran Matematika dibagikan hasil ulangan. Dodi dapat 6, Dina dapat 6,5, Sarah dapat 7 dan aku sendiri dapat 8. Yang kusebutkan tadi adalah anak-anak dikelas yang selalu mendapat ranking. Yap, akhirnya pelajaran berakhir juga. Dan bel pun berbunyi 3 kali tanda agar siswa meninggalkan kelas.

Sudah lima menit aku menunggu Syifa di gerbang sekolah,
“Nara, maaf ya aku terlambat, kamu sudah menunggu lama ya?” Syifa bertanya dengan nada cemas.
“Tidak kok, memang ada apa?”.
” Begini Nara, aku ingin sekali belajar sama kamu, kamu mau gak jadi membantuku untuk mengajari pelajaran Matematika?” Kata Syifa sambil menggigit bibir. 
“Ooooh begitu? Kenapa kamu gak mencari guru privat saja?”. 
“Dulu aku pernah, tapi gak pernah cocok.”.
“Tapi aku baru bisa membantumu di malam hari. Bagaimana, apa kamu mau? Soalnya kalau siang-siang aku harus bekerja.”.
”Tidak apa kok, aku senang sekali.” Jawab Syifa dengan bahagia.
Ahhh…Baru setengah jam aku memulung sampah, keringatku sudah mengucur dengan derasnya. Hari ini, aku hanya dapat mengumpulkan 20.000 dari jam 2 siang sampai jam 5 sore. Bergelut dengan bau, dan terik matahari sudah tak terasa. Bisa dibilang aku sudah kebal dengan semua itu. Hari ini aku, ibu dan adik-adikku bisa makan tempe dan nasi. Aku sangat bersyukur karena sudah diberikan rizki yang halal. Malam ini aku punya pekerjaan sambilan lagi, Syifa memintaku untuk mengajarinya Matematika. Itung-itung bisa menambah penghasilan.

Itu adalah pekerjaanku setiap harinya berngkat pagi untuk sekolah, lalu pulang berganti pakaian dinas pemulung, pulang lagi ganti baju dan berangkat ke istana Syifa yang megah itu. Dulu aku sempat iri pada Syifa, kenapa Syifa selalu lebih beruntung dibanding aku. Dia punya rumah yang sangat besar, indah, mewah dan terletak di kawasan elite. Sedangkan aku hanya punya bilik kardus, kecil dan pasti bocor bila hujan di belakang gedung bertingkat di pinggir sungai pula. Apalagi akhir-akhir ini Jakarta sering hujan dan terendam banjir. Rumahku juga begitu, terendam banjir. Sampai-sampai aku harus mengganti kardus-kardusnya seminggu sekali karena rontok terbawa banjir.

~~

Tiga bulan kemudian…

Hore aku lulus!!! Lulus dengan nilai yang memuaskan. Aku sangat bahagia… Tapi… selang waktu lima hari ibuku meregang nyawa…ya… ibuku meninggal dunia karena stroke yang dideritanya. Aku sangat terpukul, hingga aku kehilangan semangatku lagi, sama persis seperti ketika aku kehilangan ayah.

Ayah… ibu… mengapa kalian meninggalkanku dan adik-adikku secepat ini? Aku tak bisa membendung kesedihanku yang mendalam. Hari-hariku kulewati dengan perjuanganku sebagai tulang punggung, bagi adik-adikku.

Tiga bulan kemudian aku mendapakan pekerjaan sebagai cleaning service di PT. Intan Muria. Yah, begitulah pekerjaanku, bersyukur dan selalu bersyukur dengan apa yang telah di dapat, dapat mengurangi beban secara signifikan. Beberapa bulan kemudaian, ketika aku sedang membersihkan dapur kantor, seseorang berlari ke arahku dengan terbata dia berkata 
“Nara, segera ke ruangan Pak Direktur!” seru Pak Hari, ia adalah koordinator cleaning service di kantor ini.
”Assalamu`alaikum Pak, ada apa Pak, mengapa bapak memanggil saya?” kataku sambil terggap-gagap,
”Silahkan duduk Nara, ada yang harus saya bicarakan padamu.”. 
Aku pun duduk sambil menundukan kepala, aku takut ada sesuatu yang terjadi, dan hal itu adalah hal yang tak kuinginkan. 
“Nara, saya hanya ingin memberitahukan kamu, kalau saya akan mengangkat kamu sebagai asisten Pak Suryo, saya lihat, kamu pandai sekali dalam memanage gaji yang kamu terima, kamu menabung untuk biaya adik-adikmu yang sekolah, dan sebagainya. Saya sangat senang melihat karyawan yang sepandai kamu.” . 
“Pak, yang benar? Saya diangkat sebagai asisten bendahara?” suaraku bergetar ketika mengatakannya. 
“Ya, benar Nara, saya mengangkat kamu sebagai asisten bendahara, bagaimana apa kamu bersedia?”. 
“Ya, pak saya sangat bersedia, terimakasih pak.” 

Sesampainya di rumah, aku mengabarkan kabar bahagia ini pada ketiga adik-adikku, mereka terlihat bahagia sekali.
“Kak, andai saja ayah dan ibu masih ada ya. Mungkin meraka akan tersenyum bahagia, dan mereka bisa merasakan kebahagiaan kita sekarang ini.” Lia mengatakannya dengan tersedu. 
“Li, ayah dan ibu di sana pasti senang sekali melihat kita bisa seperti ini. Lia juga kan selalu dapat rangking, Rio dan Taufik juga jadi anak yang baik, itu semua membuat ayah dan ibu senang.” Sahutku sambil mengecup dahi Lia sembari memeluknya dengan erat. Ayah… Ibu…. Semoga kalian disana bahagia…

~~

“ Nara…Cepat bantu saya untuk mempersiapkan materi untuk meeting!”. Seru Pak Suryo. 
”Ya, pak saya akan segera melaksanakannya.”. Ya Allah terimakasih atas semua  rezeki yang telah engkau beri padaku, saat ini aku sudah bisa menyekolahkan adik-adik, terimakasih Ya....Allah.
”Nara....Segera Laksanakan!!!”
Terdengar suara Pak Suryo memanggilku, aku tersentak dan mengakhiri lamunanku....

Anike Dessa Ispridevi
05 Desember 2009


Get Pdf, click here!



Leave a Reply.